Skip to main content

Posts

Al-Ghazali, Maut dan Ketakutan-ketakutan

Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad, Hujjatul Islam, Abu Hamid al-Thusi atau lebih akrab dikenal Imam al-Ghazali adalah seorang ulama, teolog,  ahli fiqh, ahli pikir, dan ahli filsafat islam. Ia menuntut ilmu kepada para ulama termuka, seperti Ahmad al-Radakani dan Imam al-Haramain. Selain pernah menjadi guru besar di perguruan tinggi Nizhamiyyah, beliau juga pernah bekerja di istana kesultanan seljuk. Maka, dapatlah kita tarik kesimpulan bahwa beliau memiliki hidup yang berkecukupan secara dunia. Tapi, dunia tetaplah dunia, ia bersifat fana. Diberinya senyuman padahal hakikatnya umpatan. Diberinya tangan kasih padahal hakikat sebilah pedang. Diberinya kenikmatan sejatinya semu. Maka kemudian kesemuan atas dunia ini membawa Imam al-Ghazali kepada suatu pergolakan batin—antara dunia dan akhirat. Pergolakan ini ia narasikan sendiri di dalam autobigrafinya: “suatu hari aku berniat meninggalkan bagdad dengan semua lingkungannya, tapi keesokan harinya pikiranku berubah lagi…
Recent posts

Ibnu Khaldun dan Hakikat Kekuasaan Politik

Abdurrahman Ibn Khaldun al-Maghribi al-Hadrami al- Maliki atau yang lebih dikenal sebagai Ibnu Khaldun adalah seorang ulama terkemuka yang hidup pada abad pertengahan atau tepatnya masa kekuasaan bani Mamluk antara abad ke-8 dan 9 H. Ia dikenal pula sebagai seorang ilmuwan muslim yang ahli dibidang sejarah, sosiologi, politik, dan ekonomi. Dewasa ini di tengah masyarakat apabila mereka diskusi mengenai kekuasaan dan politik cenderung mengeluarkan pendapat-pendapat yang negatif. Hal ini bukanlah tanpa sebab, karena dalam praktiknya kekuasaan dewasa ini hanya alat bagi para politisi buat mencapai kepentingan-kepentingan atas dirinya, keluarga, dan gengnya. Tidak harus jauh-jauh kepada kekuasaan tingkat negara tetapi cukup kita saksikan realitas ini di tingkat desa. Maka, realitas kekuasaan di tingkat yang lebih tinggi itu tidak jauh dari yang dibawahnya karena ia berada dalam satu sistem. Apa yang masyarakat diskusikan ini merupakan praktik dari kekuasaan, ada pula beb

Sesat Pikir Pemuda Hijrah?

Menurut Dr. Munirul Ikhwan [1] , Tren Hijrah adalah konsep yang menyatakan menjadi muslim saja tidaklah cukup. Belakangan doktrin hijrah gampang menjangkiti kelas menengah urban yang frustrasi dan haus inspirasi kesalehan. Budaya kota yang cenderung bebas dan konsumtif membuat pemaknaan atas hidup menjadi bias. Barangkali sebab karena hal ini lah pemuda kelas menengah urban mencari suatu pelarian (eskapisme). Tetapi, dalam praktik dan realitasnya justru pemuda hijrah masih menjalankan budaya popular. Mereka tetap dengan ringan meng- upload  foto-foto yang menunjukkan budaya elitis dan konsumtif. Fakta ini mengindikasikan bahwa benar ada kegundahan massal pada pemuda yang ingin mengeksplorasi Islam, namun di sisi lain mereka tidak ingin kehilangan budaya populer modern ( Popular Culture ) yang selama ini mereka kerjakan [2] . Selain terang-terangan menunjukkan budaya populer, konsumtif, dan elitis, beberapa pemuda hijrah pun terangan-terangan pula menunjukkan budaya ‘bucin’

Manusia Itu Laut

Perlu kita pahami bahwa manusia (Mikrokosmos) adalah miniatur alam semesta (Makrokosmos); luas, dalam dan tidak dapat di jangkau sepenuhnya. Maka menyerang kepribadian seseorang secara liar bukan lah keputusan yang arif. Engkau boleh membedah manusia dengan pisau bedah yang bernama Psikologi, Filsafat, Antropologi atau apapun itu. Tapi engkau juga harus mengerti, manusia bukan lah buku yang bisa kau tuntaskan; manusia itu lautan. Apabila kau temui suatu titik dimana seolah-olah engkau memahami seseorang, tidak lain itu hanyalah bersifat dugaan, atau kecuali hanya sebagian kecil dari keseluruhan tentangnya. Mungkin engkau pernah mendengar. Bahwa setiap manusia memiliki satu, dua atau lebih hal yang hanya ia dan Tuhannya yang tahu — dalam kata lain, ia merahasiakannya. Terlepas dari motif dibaliknya. Itu lah mengapa manusia di sebut lautan atau miniatur alam semesta. Manusia menyimpan sebuah potensi. Dan apabila potensi itu mengemuka, dapat memberi dampak besar kepada lu

Sayap-sayap Api

Dengan perasaan yang teramat, ia meyakini bahwa dirinya seorang sanguinis-koleris. Sebuah teori kepribadian yang berusia tua yang berasaskan temperamen—koherensi perilaku. Meskipun seiring berjalannya waktu teori ini mengalami perkembangan dan penolakan, sampai kepada teori  personality plus  Littauer. Sanguinis-koleris berarti pribadi yang penuh percaya diri, kuat, dan riang. Watak ini senada dengan teori kepribadian Jung, yaitu ekstrovesi/ekstrover kebalikan dari introversi/introver. Keyakinan itu bertahan pada dirinya selama beberapa tahun—di hitung sejak ia bisa berpikir. Hal yang membuat ia sangat yakin bahwa dirinya seorang sanguinis-koleris berdasarkan pada praktik hidupnya (masa itu) yang sering tampil ke muka dan menonjol dari yang lainnya. Pada praktik-praktik hidupnya itu, memang ia merasakan ada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang jika di analogi kan seperti sebuah pisau di atas kertas, atau memancing ikan di danau minyak. Inkoherensi atau ketidakberhubungan. Tetapi

Rosea

/1/ adalah dirimu segala apa yang ada padamu sebuah puisi sastra yang, sunyi /2/ tanganmu puisi matamu puisi langkahmu puisi segala apa yang ada padamu, sunyi /3/ seseorang yang linglung merapal setiap inci tubuhmu memuncratkannya tepat di jendela kamar hatimu saat kau bermimpi saat kau, sunyi

Stasiun Jakarta Kota

Sesampainya di stasiun Jakarta Kota siang itu ia berjalan ke arah kursi panjang dengan raut sumringah, lalu ia duduk. Ia duduk dengan posisi yang anggun menandakan bahwa ia seorang yang santun. Sesekali ia membuka HP, sesekali ia membaca buku. Tanpa memerdulikan pandangan orang-orang ia duduk selama beberapa waktu. Hari itu stasiun tidak terlalu ramai, karena memang itu adalah hari minggu. Pada hari minggu biasanya orang-orang Jakarta memilih berlibur ke puncak atau menghabiskan waktu di rumah, udara Jakarta kurang bersahabat buat bermain-main. Namun siang itu udara agak sejuk, karena langit di luar sana mendung. Tetapi iklim Jakarta tetaplah kekanakan, sulit di duga akhirnya. Laki-laki itu beranjak dari kursi dan berjalan menyusuri tembok stasiun sembari melihat-lihat sekitaran. Wajahnya sumringah memancarkan semangat harapan. “ Menunggu satu jam bukanlah waktu yang lama untuk sebuah hal penting. ” Bisiknya dalam hati. Ia sedang menunggu seorang perempuan. Tiga tahun lalu di